Surat Buat Bapak (pertama)

Samarnya sebuah bayangan, membuat redup keadaan ini. Detik dalam bejana, menetes demi titik dan titik menyambut kebeningan.

Ketika kegelisahan melanda, tanpa mengundang tawa, aku resah dan gila. Kau terima kami dengan sebuah doa, agar kami menjadi dan menjadi diri kami seutuhnya. Walau, sebenarnya aku bimbang, akan tetapi kau tahu apa yang aku rasakan. Dengan Tulus ikhlasmu, serta doa mu, aku haturkan kata terimakasih.

Kata terimakasih, yang aku pikir, kau pun tak akan mau menerimanya, sebab kau tahu yang terbaik bagi kami. Benarlah jasamu, benarlah bakti mu, benar pula lah jalan yang kau tunjukkan itu. Kau buka kan kami sebuah pintu terang diantara lorong gelap gemerlap kehidupan, yang membuat mati kutu ruh kami.

Pengorbananmu tanpa letih dan merajuk, aliran air mu laksana dahaga yang membasahi sebuah batu panas karena cahaya matahari.

Maaf jika aku salah, sebab aku tak tahu harus berbuat apa, dan ini pula bukti kebodohanku. Ku sesali di waktu itu tak kupasrahkan sepenuhnya, hanya sebatas mengikuti arah mata angin mu, tanpa aku sendiri yang mengikuti arah itu. kau bangunkan sebuah jembatan  kehidupan, untuk sebuah kehidupan yang pasti dan kekal. Namun, harapku semoga kau tidak akan lepaskan kami begitu saja, semangati kami dengan doa-doa mu yang suci, seolah-olah menjadi tali yang terikat dalam jembatan itu, agar kami tidak melihat getirnya jurang kehidupan dibawah.

Dan Alloh pula yang maha mengetahui akan segalanya…… Amin, ya robbal ‘alamiiiiin.

 

Antara Ayah, Aku dan Ade……

“Sini de, sholat di pinggir ayah … dan ikuti aja dulu… sambil belajar gerakannya ya..” kata ayah.

“iya yah…. ayo ayah dulu, nanti ade ngikutin..” kata anak itu.

lalu, sang ayah mulailah sholat, dan si ade mulai bergerak seiring dengan gerakan matanya melihat gerakan ayahnya. Ayah berkata “alloh hu akbar”, ade pun berkata “alloh hu akbal (dengan nada cadel seorang anak)”. Terus si ade mengikuti gerakan sholat ayahnya, walaupun sambil melirik ke kiri ke kanan, sehingga kadang-kadang ia tertinggal gerakan oleh ayahnya. Pada akhirnya, ayahnya pun selesai sholat, dan berdoa, sebelum berdoa ayahnya berkata “kamu ikuti aja yah dengan berkata amin,…..”, “oh iya yah, amin…”kata si ade.

setelah semuanya itu si ayah mencoba daya nalar anaknya, yang memang baru berumur di bawah enam tahun. “Nah, ade ada yang mau ditanyakan ga?” “nanya apa ya yah, ……………….  oh iya, kenapa orang-orang yang berdoa itu, selalu menginginkan surga, pahala dan takut akan siksa neraka?” kata si ade.

sambil terheran ayahnya berkata “kok ade bisa berpikir kaya gitu de …?”

“karena kata bu guru di sekolah, dan bapak ustad yang dipengajian, berkata bahwa kita berdoa itu kepada Alloh dan sholat pun kepada Alloh, tetapi kenapa mesti meminta surga, pahala dan takut akan siksaan? benarkah itu yah?, atau ayahpun sama begitu?” kata si ade.

ayahnya menjadi lebih heran, kenapa anaknya bertanya diluar dari dugaannya? dan tidak begitu lama ayahnya menjawab, ” begini de, pertama, …………. sebenarnya ayah ini heran betul kenapa dari usia ade yang masih kecil mempunyai pertanyaan seperti itu? sebab itu tentu lah untuk mereka-mereka yang memang sudah dikatakan akil balig…..”

“akil balig itu apa yah?”, kata si ade sambil memotong ucapan sang ayah……” ya…akil balig itu kiranya adalah dimana pemikiran itu telah betul-betul dapat membedakan benar dan salah, sehingga mulai juga rasa malu”

selanjutnya mereka berjalan keluar dari sebuah surau, sambil melihat dan melintasi orang yang tengah berdoa di pinggir jalan mereka keluar dari surau itu. “pada intinya memang, ibadah itu haruslah pada Alloh semata, tanpa mengedepankan surga, pahala dan takut akan neraka……., padahal untuk urusan tiga hal tadi adalah sebuah janji Alloh sendiri, jika manusia itu beribadah kepadaNya”.kata ayah.

“terus-terus?” sehingga timbul rasa penasaran yang lebih dari si ade.

“dengan beribadah kepadaNya, tentu Alloh tidak akan pernah menyalahi janjiNya,….. kecuali manusia yang kadang senantiasa menyalahi janji” sambil mengikat tali sepatu anaknya.

“oh, gitu yah… selanjutnya gimana?”. tanya si ade.

“nah jika kita lebih mendahulukan karena menginginkan surga, pahala dan takut akan neraka, ibadah yang di niatkan Lillahi taala di kemanakan?, sampai disini ayah pun heran” kata ayah.

“kenapa heran yah?” kata si ade.

“iya, karena ayah tidak tahu mana yang benar atau yang salah, sebab keputusan terakhir hanyalah pada hukum Alloh itu sendiri, ayah ini hanyalah mahluknya, yang terjaga dari hukum-hukumNya” kata ayah.

“oh gitu ya yah……” kata si ade.

“namun ayah sempat berpikir, jika orang yang selalu mengedepankan keuntungan semata bagi dirinya, itu samalah dengan tukang jual beli, yang lebih mementingkan keuntungan tanpa memandang cara dan proses jual belinya”kata ayah.

jidat si ade tampak mengerut, apakah ia paham, bingung atau tidak mengerti sama sekali. akan tetapi ayah tetap saja berkata “atau lebih mudahnya gini, ibaratnya ayah menyuruh ade untuk membelikan beras di warung sebelah, akan tetapi ade setelah ayah suruh selalu meminta imbalan, iya kan?” …………. “iya yah,….he..he….”kata si ade.

“nah itulah, padahal ayah membeli beras itu untuk ade makan sehari-hari bersama, ibu, kakak dan ayah, ………………. tetapi ayah mau tanya kepada ade sekali lagi, dari mana ade punya pertanyaan seperti itu? ade kan masih kecil?”.tanya ayah.

“itu sebenarnya abang yang nyuruh ade nanya itu ke ayah, karena katanya kalo ade nanya itu nanti ade di kasih coklat dan permen sama abang      ……….. “, (sambil menunjukkan telunjuknya ke arah ku)

sepengalan cerita ngawur saja gan….!